Jumat, 15 April 2011

Potensi FTAAP dan Peran Strategis Infrastruktur dalam Peningkatan Daya Saing Indonesia

Kamis, 2 September 2010 19:07 WIB

Tahun ini kontroversi mengenai CAFTA mewarnai diskusi dan menuai kritik pedas bagi pemerintah, karena banyak pihak yang menyatakan tidak siap dengan meningkatnya persaingan dengan negara lain. Belajar dari CAFTA, sekarang kita perlu bersiap untuk kerja sama selanjutnya yang akan diinisiasi oleh APEC (Asia Pacific Economic Cooperation). APEC sedang mengkaji suatu bentuk kerjasama regional yaitu FTAAP (Free Trade Area of The Asia Pacific).

Kerja sama ini memang masih kontroversial karena seyogyanya APEC adalah organisasi yang tidak mengikat dan sukarela, namun dengan adanya dukungan dari banyak negara terutama Amerika Serikat untuk FTAAP, maka kita perlu mengantisipasi kesiapan daya saing kita di masa depan jika FTAAP terealisasi. Kita perlu melakukan perencanaan untuk membangun berbagai hal yang perlu ditingkatkan untuk mendukung daya saing Indonesia sehingga dapat menikmati keuntungan dari kerja sama ini.

APEC mempunyai potensi yang besar dalam perekonomian dunia. Anggota APEC meliputi 21 negara, yaitu Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Thailand, Cina, Hong Kong, Taiwan, Meksiko, Papua Nugini, Cile, Peru, Rusia, Vietnam dan Amerika Serikat. Selain itu total GDP 21 negara anggota APEC ini meliputi 62% pertumbuhan dunia dalam periode 1994-2008. Jumlah yang besar dan menjadikan FTAAP kerja sama regional yang strategis

Periode 1994-2007 kegiatan ekspor dan impor ekonomi APEC mengalami peningkatan signifikan dalam periode 1994-2007. Ekspor APEC meningkat sebesar 211% dari US$2 triliun menjadi US$6,2 triliun, sedangkan impor APEC meningkat 211% dari US$2,1 triliun menjadi US$6,5 triliun. FDI ke kawasan APEC juga tumbuh rata-rata 13% per tahun. Nilainya pada tahun 2008 mencapai US$ 791 miliar, sedangkan FDI yang keluar dari kawasan APEC tumbuh rata-rata 12,7% per tahun dengan nilai US$782 miliar pada tahun 2008.

Pertumbuhan yang tinggi dalam perdagangan di kawasan APEC ini hanya dapat dikapitalisasi oleh Indonesia melalui penguatan daya saing kita. Hal-hal yang perlu dibenahi adalah kualitas infrastruktur transportasi seperti jalan raya dan pelabuhan. Berdasarkan Global Enabling Trade 2010 Indoensia ada di peringkat peringkat 80, bahkan ketersediaan dan kualitas jasa transportasi berada di peringkat 100. Selain itu ICT (Information Comunication Technology) yang kita miliki masih di peringkat 90, kemudahan komunikasi dan pemberdayaan teknologi yang dapat mendukung perdagangan ini perlu ditingkatkan perannya. Laporan ini juga memberikan rekomendasi kepada Indonesia untuk meningkatkan komunikasi lembaga-lembaga pemerintahan yang dalam mendukung perdagangan. Komunikasi ini diharapkan dapat mempermudah berbagai kendala administrasi yang menghambat perdagangan.

Konsentrasi kepada pembenahan infrastruktur juga dapat kita lihat dari laporan Global Competitiveness Report yang mencerminkan daya saing suatu negara. Berdasarkan GCR 2010, Indonesia masih berada di peringkat 84 dari 133 negara. Berdasarkan laporan GCR, pelabuhan ada di peringkat 95 dan perlu menjadi prioritas yang ditingkatkan terutama untuk menghubungkan aktivitas perekonomian di berbagai pulau di Indonesia.

Selain infrastruktur, hal lain yang perlu dibenahi dalam meningkatkan performa perdagangan Indonesia adalah dengan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk perijinan dan administrasi di perbatasan. Selain itu korupsi yang terjadi dalam mengurus perijinan juga perlu terus diberantas karena hal ini merupakan faktor yang mengurangi insentif perdagangan dari dan ke Indonesia.

Beberapa hal diatas merupakan bauran performa yang dihasilkan oleh institusi, kebijakan, dan faktor-faktor lain seperti infrastruktur yang mempengaruhi produktivitas negara. Melalui peningkatan produktivitas yang sudah dibangun dari jauh-jauh hari sebelum kerja sama ini terealisasi, maka kita akan mempunyai daya saing dan kesiapan dalam FTAAP.

written by:
Prof. Firmanzah, PhD
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia